slide

8 April 2011

Atheis

Hasan (Aku), Seorang pemuda yang masih tergolong berada dan punya tingkat stratifikasi sosial yang tinggi di desa asalnya,meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan baru di kota Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor jawatan pemerintah. Kehidupan sehari-harinya masih berjalan normal sebagaimana dari sejak dulu ia menjalani kehidupan hingga dia bertemu Rusli dan Kartini.
     Berawal dari ajakan Rusli, kawan masa kecilnya dulu yang secara tidak sengaja bertemu lagi sekarang setelah lama berpisah, untuk bertamu kerumahnya dan terlebih lagi ada perasaan tertentu yang menghinggapinya kala bertemu dengan Kartini, yang merupakan kawan Rusli, pertama kali berjumpa, Hasan jadi sering mampir kerumah Rusli. Dan mulailah Hasan mencebur dalam pergaulan Rusli dan Kartini, dan kawan-kawan mereka, yang merupakan aktivis ideologi marxis.
     Hasan yang dulunya tetap mampu hidup sebagaimana biasa di desanya walaupun berada ditengah-tengah kemodern kota Bandung, mulai berubah. Hal yang utama adalah menyangkut sisi rejiusitas yang selama ini sanggup dipegang teguhnya.  Semakin ia berkumpul dalam forum-forum diskusi pemikiran marxis Rusli daqn kawan-kawannya, juga semakin akrab ia dengan Rusli dan kawan-kawannya, mulai semakin tak perlahan Hasan meninggalkan gaya hidupnya yang lama.
     Tentu saja ideology marxis akan sangat menubruk pemahaman keagamaan yang sangat tradisionalnya Hasan. Dan ini juga tak berlangsung mudah. Pada awalnya Hasan masih sangat keras untuk berusaha melawan jalan pemikiran kawan-kawan marxisnya. Hal ini ditunjukan tekadnya suatu kali untuk menyadarkan Rusli untuk kembali kejalan yang benar. Dengan semangat ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kala berdebat.
     Rusli di gambarkan sosok yang sangat cerdas dan pintar berwacana, tidak sebanding dengan Hasan yang masih sederhana wawasan maupun pola pikirnya. Hasan menyerah ia bergabung dalam lingkungan marxis itu dan terus tambah terpengaruh.
     Sewaktu ia saat kembali kerumah orangtuanya di desa wanaraja, kebetulan sama Anwar ( salah seorang kawan maexisnya yang paling gila ), ia bahkan berani untuk berterus terang kepada orang tuanya tentang pemahaman keimanan terbarunya. Dan tentu saja untuk itu Hasan harus mambayar dengan perpisahan untuk selamanya.
     Namun ditengah keterus menceburan Hasan kedalam lingkungan marxis, ia sebetulnya juga tak sepenuhnya sanggup dan mau untuk mengikuti ideology tersebut. Keberadaan seorang Kartinilah yang menjadi perangsang baginya untuk terus berada di komunitas yang membuat ia kebanyakan hanya menjadi penonton yang pasif dalam berbagai saling lempar wacana yang ada.
     Hingga akhirnya Hasan kawin dengan Kartini dan pada awalnya berbahagia sentosa raya. Tentu tak lama pula, datanglah masa sengsara, Hasan dan Kartini mulai saling bertengkar. Dan pertengkaran ini pun berujungkan perpisahan. Sumber konfliknya adalah, utamanya ketidaksukaan gaya hidup modern Kartini. Hasan masih memendam cara pikir yang konservatifnya ternyata. Dan memang begitulah.
     Dalam keterlibatan ia berkecimpung dalam dunia kaum “ATHEIS”, ia masih mendekap erat pandangan-pandangan masa lalunya. Dan pertentangan pikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan. Yang hanya sanggup diobati, awalnya, dengan impian akan keanggunan Kartini, tetapi selain itu Hasan pun berhadapan dengan penderitaan fisik berupa penyakit paru-paru yang dideritanya.
     Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat memperkosa Kartini, dalam marah ketika berjalan mencari Anwar, ia ditembak oleh tentara Jepang yang menuduhnya mata-mata. Hasan tersungkur oleh terjangan peluru dan mengucap takbir ( Allahuakbar ), sisa-sisa relijiusitas ayng terpendam dihatinya selama ini keluar juga akhirnya. Ia mati di penjara sebab dikabarkan tak sanggup menahan siksa. Kartini sangat sedih dan terpukul begitu mendengar kabar kematian Hasannya tercinta.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wick

SINOPSIS :
Zaenuddin berhasil kembali ke kampung halamannya setelah diberi izin oleh Mak Base, orang tua angkatnya. Selama ini dia tinggal di negeri orang, yaitu di Makasar. Hal ini disebabkan ayahnya dulu telah diusir dari Batipuh, karena telah membunuh Datuk Mantari Labih. Datuk Mantari Labih ini dibunuh oleh pendekar Sutan, ayah kandung Zainuddin itu, karena Datuk Mantari Labih berusaha merebut harta warisan milik ayah Zainuddin. Akibat pembunuhan itu, Pendekar Sutan dibuang atau diusir dari tanah leluhurnya dan lari ke Mengkasar. Di Mengkasar, Pendekar Sutan kawin dengan Daeng Habibah. Dari hasil perkawinan dengan Habibah itu, lahirlah Habibah. Setelah ayahnya meninggal, Zainuddin diangkat anak oleh Mak Base yang baik hati itu.
Ketidakadilan yang menimpa ayahnya dulu itu akibat adat istiadat yang melekat di daerahnya itu, sekarang betul-brtul dirasakannya sendiri. Karena Zainuddin bukan orang Padang asli, karena dia mempunyai ibu yang bukan asli Minagkabau atau Batipuh itu, hubungan cintanya dengan Hayati seakan sebagai penghalang besi yang sulit ditembus. Semakin besar lagi halangan cinta kasihnya dengan Hayati, yaitu dia termasuk pemuda yatim piatu yang miskin. Tapi walaupun begitu hubungan cinta kasih mereka masih tetapa saja berlangsung. Zainuddin yang waktu itu tinggal di Padang Panjang selalu berkirim-kirim surat pada Hayati yang ada di Batipuh.
Suatu hari Hayati pergi ke Padang Panjang untuk melihat pasar malam. Tentu saja sebelum berangkat kesana, kepergiannya itu telah diberi tahu lewat surat kepada Zainuddin. Jadi pada dasarnya kepergiannya itu hanyalah ingfin bertemu dengan Zainuddin. Dan keduanya memang sama-sama rindu hendak bertemu kasih.
Di Padang Panjang Hayati tinggal di rumah sahabatnya, yaitu Khatidjah. Dan mereka telah berjanji akan bertemu di rumah sahabatnya itu dengan Zainuddin. Tapi tanpa diduga, ternyata pertemuan cinta kasih mereka harus terhalangi oleh orang ketiga, sebab ternyata kakaknya Khatidjah rupanya menaruh hati juga pada Hayati. Puncak persaingan antara kedua pemuda itu terhadap Hayati yaitu ketika keduanya sama-sama mengirim surat untuk Hayati kepada orang tua Hayati. Zainuddin waktu itu, walaupun sebenarnya bukan seorang pemuda miskin lagi karena dia baru saja menerima warisan dari Mak Base yang baru meninggal dunia dan tidak berusaha menjelaskan kepada keluarga Hayati bahwa dia sudah kaya, harus mnerima pil pahit, yaitu lamarannya ditolak oleh orang tua Hayati. Sedangkan yang sebagai pemenang adalah Aziz, karena Aziz seperti diketahui oleh orang tua Hayati selama ini adalah seorang pemuda kaya.
Zainuddin akibat kenyatannya ditolaknya lamarannya itu kemudian jatuh sakit. Sedangkan Hayati mnejadi sedih dan was-was hidup dengan seorang pemuda Aziz yang tidak dicintainya sedikitpun itu. Aziz juga merupakan seorang pemuda yang berperangai jelek, sehingga membuat tidak berbahagia kelurga itu.
Atas saran Muluk, sahabatnya, Zainuddin kemudian pindah ke Jakarta. Di Jakarta Zainuddin menjadi seorang penulis. Tulisannya makin lama makin banyak, sehingga dari mulai dikenal oleh banyak orang. Selanjutnya dengan ditemani oleh sahabat karibnya itu, Zainuddin pindah ke Surabaya. Di Surabaya diapun menjadi seorang penulis yang produktif. Namanya terkenal di masyarakta Surabaya. Dia juga dikenal menjadi seorang penulis yang kaya dan sangat dermawan.
Karena tugas pekerjaannya, oleh pemerintah Aziz ditempatkan di Surabaya, sehingga keluarga ini harus tinggal di Surabaya. Akibat berikutnya, mereka bertemu lagi dengan Zainuddin yang sangat Hayati cintai itu.
Akibta kecerobohan dan kelalaian Aziz dalam menjalankan pekerjaannya Aziz dipecat dari pekerjaannya. Selama menganggur itu Hayati dan suaminya Aziz itu tinggal di rumah Zainuddin yang sangta dermawan itu. Lama-kelamaan, Aziz merasa malu juga tinggal di rumah Zainuddin dengan keadaan yang menganggur dan taka punya uang. Sedangkan Zainuddin sendiri sungguh sangat baik dalam menerima mereka. perlakuan Zainuddin yang demikian baik itu sungguh telah membuat Aziz menjadi sangat rikuh dan malu. Karena tidak tahan menanggung rasa yang makin lama makin besar itu, akhirnya Aziz pergi meninggalkan Hayati entah kemana. Baru beberapa lama kemudian, Aziz mengirim dua pucuk surat, yang satu untuk Hayati istrinya dan yang satu lagi untuk Zainuddin. Surat untuk Hayati berisikan bahwa dia telah menceraikan Hayati. Sedangkan isi surat untuk Zainuddin, yaitu Aziz menyerahkan Hayati kepada Zainuddin agar Zainuddin mau menerima Hayati sebagai istrinya. Rupanya itu pesan terakhir dari Aziz, yang tak lama kemudian meninggal dunia.
Sebenarnya hati Zainuddin memang masih sangat mencintai Hayati dan masih berharap agar Hayati bisa jadi istrinya. Namun karena kekerasan hatinya yang diliputi oleh rasa dendam karena dulunya lamarannya ditolak oleh orang tua Hayati, penyerahan Hayati itu dia tolak. Malah dia suruh pulang kampong. Betapa hancur hati Hayati menerima kenyataan itu. Kemudian dia pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck esoknya. Ketika kapal telah berangkat membawa Hayati pulang, tiba-tiba kesadaran Zainuddin muncul lagi, bahwa dia sebenarnya sangat mendambakan Hayati. Dengan tergesa-gesa dia berangkat menyusul Hayati ke pelabuahn, namun kapal Van Der Wijck sudah berangkat. Hati Zainuddin sangat sedih dan menyesali perbuatannya. Dia semakin sedih dan hancur, ketika besoknya dia membaca Koran terkabarkan bahwa kapal Van Der Wijck telah tenggelam. Secepat kilat Zainuddin berangkat ke Tuban bersama sahabat karibnya, Muluk untuk menemui kekasih hatinya yang sedang berbaring di rumah sakit Tuban. Itulah pertemuan terakhir mereka, Hayati meninggal di rumah sakit itu, di dalam pelukan Zainuddin.
Akibat kejadian yang sangat disesalkan dan disedihkan itu, Zainuddin terus sakit-sakitan. Dan akhirnya meninggal dunia. Oleh Muluk jazad Zainuddin dimakamkan bersebelahan dengan Hayati.

Azab dan Sengsara

Sinopsis

Di kota Siparok hiduplah seorang bangsawan kaya raya yang memiliki seorang anak laki-laki dan seorang perempuan (yang perempuan tidak dijelaskan oleh pengarang). Anaknya yang laki-laki bernama Sutan Baringin. Dia sangat dimanja oleh ibunya. Apapun yang dimintanya selalu dipenuhi dan bila ia melakukan kesalahan, ibunya selalu membelanya. Akibatnya, setelah dewasa ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang angkuh, bertabiat buruk, serta suka menghambur-hamburkan harta orang tuanya.
Kedua orang tuanya menikahkan Sutan Baringin dengan Nuria, seorang wanita yang berbudi luhur pilihan ibunya. Namun, kebiasaan buruk Sutan Baringin tetap dilakukannya sekalipun ia telah berkeluarga. Ia tetap berfoya-foya menghabiskan harta benda kedua orang tuanya, bahkan ia sering berjudi dengan Marah Sait, seorang pokrol bambu sahabat karibnya. Ketika ayahnya meninggal, tabiat buruknya semakin menjadi-jadi. Bahkan ia tidak sungkan-sungkan untuk menghabiskan seluruh harta warisan untuk berjudi. Akibatnya, hanya dalam waktu sekejap saja, harta warisan yang diperolehnya terkuras habis. Ia pun jatuh bangkrut dan memiliki banyak utang.
Dari perkawinannya dengan Nuria, Sutan Baringin mempunyai dua orang anak. Yang satu adalah perempuan bernama Mariamin, sedangkan yang satunya lagi laki-laki (yang laki-laki tidak diceritakan pengarang). Mariamin sangat menderita akibat tingkah laku ayahnya. Ia selalu dihina oleh warga kampung, karena hidupnya sengsara, cinta kasih wanita yang berbudi luhur ini dengan Aminuddin pun mendapat halangan dari kedua orang tua Aminuddin.
Aminuddin adalah anak Baginda Diatas, yaitu seorang bangsawan kaya raya yang sangat disegani di daerah Siparok. Sebelumnya, ayah Bagianda Diatas dengan ayah Sutan Baringin adalah kakak beradik. Sejak kecil, Aminuddin bersahabat dengan Mariamin. Setelah keduanya beranjak dewasa, mereka saling jatuh hati. Aminuddin sangat mencintai Mariamin. Dia berjanji untuk melamar Mariamin bila dia telah mendapatkan pekerjaan. Kehidupan Mariamin yang miskin bukan merupakan penghalang bagi Aminuddin untuk menikahi gadis itu.
Aminuddin memberitahukan niatnya untuk menikahi Mariamin kepada kedua orang tuanya. Ibunya tidak merasa berkeberatan dengan niat tersebut. Dia telah mengenal Mariamin. Selain itu, keluarga Mariamin sebenarnya masih kerabat mereka. Dia juga merasa iba terhadap keluarga Mariamin yang miskin sehingga bila gadis itu menikah dengan anaknya, keadaan ekonomi keluarga Mariamin bisa terangkat lagi.
Sebaliknya, ayah Aminuddin, Baginda Diatas, tidak menyetujui rencana pernikahan tersebut. Dia tidak ingin dipermalukan oleh masyarakat sekitar kampungnya karena perbedaan status sosial antara keluarganya dengan keluarga Mariamin. Dia adalah keluarga terpandang dan kaya raya, sedangkan keluarga Mariamin hanyalah keluarga yang sangat miskin. Namun, ketidaksetujuannya tidak ia perlihatkan kepada istri dan anaknya.
Dengan cara halus, Baginda Diatas berusaha menggagalkan pernikahan anaknya. Ia mengajak istrinya untuk menemui seorang peramal yang sebelumnya telah ia pesankan agar memberikan jawaban yang sangat merugikan pihak Mariamin. Baginda Diatas dan istrinya pun menjumpai peramal itu. Dengan disaksikan langsung oleh istri Bagianda Diatas, sang peramal yang telah bekerja sama dengan Baginda Diatas meramalkan perkawinan Aminuddin dengan Mariamin. Dia memberikan jawaban yang sangat memihak Baginda Diatas. Dengan tegas, dia mengatakan bahwa Aminuddin akan mengalami nasib buruk apabila ia menikah dengan Mariamin. Setelah mendengar jawaban dari peramal tersebut, ibu Aminuddin tidak bisa berbuat banyak. Dengan terpaksa, dia menuruti kehendak suaminya untuk mencarikan jodoh yang sesuai untuk Aminuddin.
Setelah menemukan calon yang sesuai dengan keinginan mereka, orang tua Aminuddin segera melamar wanita tersebut. Pada saat itu, Aminuddin sedang berada di Medan untuk mencari pekerjaan agar dia bisa segera melamar Mariamin. Baginda Diatas segera mengirim telegram ke Medan yang isinya meminta Aminuddin untuk menjemput calon istri dan keluarganya di Stasiun Kereta Api Medan. Menerima telegram tersebut, hati Aminuddin merasa gembira. Dalam hatinya telah terbayang wajah Mariamin. Setelah ia mengetahui bahwa calon istrinya bukan Mariamin, hatinya sangat hancur. Namun sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dengan terpaksa dia menikahi perempuan tersebut. Aminuddin segera memberitahukan kenyataan itu kepada Mariamin.
Mendengar kenyataan itu, hati Mariamin sangat sedih. Dia langsung tidak sadarkan diri. Tak lama kemudian, dia pun jatuh sakit. Setahun setelah kejadian tersebut, Mariamin dan ibunya terpaksa menerima lamaran Kasibun, seorang kerani di Medan. Pada waktu itu, Kasibun mengaku belum beristri. Mariamin pun kemudian dibawa ke Medan. Namun, sesampainya di Medan, terbuktilah siapa sebenarnya Kasibun. Dia hanyalah seorang lelaki hidung belang. Sebelum menikah dengan Mariamin, dia telah beristri, yang ia ceraikan karena hendak menikah dengan Mariamin. Hati Mariamin sangat terpukul mengetahui kenyataan itu. Namun, sebagai istri yang taat beragama, walaupun dia membenci dan tidak mencintai suaminya, dia tetap berbakti kepada suaminya.
Kasibun sering menyiksa Mariamin. Ia memperlakukan Mariamin seperti pembantu. Perlakuan kasar Kasibun terhadap Mariamin semakin menjadi setelah Aminuddin datang mengunjungi rumah mereka. Dia sangat cemburu kepada Aminuddin. Menurutnya, sambutan istrinya terhadap Aminuddin melewati batas. Padalal, Mariamin menyambut Aminuddin dengan cara yang wajar. Kecemburuan yang membabi buta dalam diri Kasibun membuat ia kehilangan control. Ia bahkan menyiksa Mariamin terus menerus.
Perlakuan Kasibun yang selalu kasar kepadanya, membuat Mariamin menjadi hilang kesabarannya. Dia tidak tahan lagi hidup menderitan dan disiksa setiap hari. Akhirnya, dia melaporkan perbuatan suaminya kepada kepolisian di Medan. Sebelumnya, dia menuntut cerai kepada suaminya. Permintaan cerainya dikabulkan oleh Pengadilan Agama Padang.
Setelah resmi bercerai dengan Kasibun, dia kembali ke kampung halamannya dengan hati yang hancur. Hancurlah jiwa dan raganya. Kesengsaraan dan penderitaan batin dan fisiknya yang terus mendera dirinya menyebabkan ia mengalami penderitaan yang berkepanjangan hingga akhirnya kematian datang menghampiri dirinya. Sungguh tragis nasibnya.

27 Maret 2011

Layar Terkembang

Isi Novel

1. Sinopsis
Roman Layar Terkembang menceritakan perjuangan wanita Indonesia beserta cita-citanya. Dua gadis bersaudara memiliki perangai yang berbeda. Maria adalah seorang dara yang lincah dan periang, sedang Tuti selalu serius dan aktif dalam kegiatan wanita. Maria memiliki badan yang ramping, ia baru berusia dua puluh tahun dan sekolah di H.B.S Carpentier Alting Stichting kelas penghabisan. Tuti adalah kakak dari Maria, badannya tegak dan agak gemuk. Ia telah berusia dua puluh lima tahun dan menjadi guru di Sekolah H.I.S Arjuna di Petojo. Mereka adalah anak Raden Wiriaatmaja , mantan wedana di daerah Banten dan ketika pensiun pindah ke Jakarta.
Pada hari minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat akuarium di pasar ikan. Ketika sampai di tempat tujuan, Maria kagum melihat ikan-ikan yang indah permai. Maria adalah seseorang yang mudah kagum, yang mudah memuji dan memuja. Ia cepat mengungkapkan perasaannya, baik perasaan senang maupun sedih. Berbeda dengan kakaknya, Tuti bukan seorang yang mudah kagum dan heran melihat sesuatu. Keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia merasa pandai dan cakap dalam mengerjakan sesuatu yang ingin dicapainya. Segala sesuatu diukurnya dengan kecakapannya sendiri, oleh karena itu ia jarang memuji.
Perbedaab sifat dan tingkah laku yang seperti siang dan malam itu tidak mengganggu tali ikatan persaudaraan mereka. Ibu mereka telah meninggal dua tahun yang lalu, sehingga mereka tinggal bertiga dengan ayah mereka.
Setelah beberapa lam mereka asyik melihat-lihat ikan lalu keluarlah mereka. Ketika daun pintu yang besar dibuka oleh mereka, terlihat laki-laki muda mengangkat kepalanya melihat kearah mereka. Beberapa lama gadis itu berjalan-jalan di beranda akuarium mengamatiikan-ikan yang aneh yang tersimpan dalam kaca dan botol. Mereka akhirnya berjalan menuju tempat sepeda mereka masing-masing. Ketika itu, keluarlah pemuda dari dalam dan menghampiri kedua gadis itu sebab sepedanya terletak dekat dengan sepeda mereka. Akhirnya mereka berkenalan dengan pemuda tersebut yang ternyata bernama Yusuf.
Yusuf adalah Putra Demang Munaf di Mertapura di Kalimantan Selatan. Yusuf adalah seorang mahasiswa kedokteran,yang pada masa lalu dikenal dengan sebutan Sekolah Tabib Tinggi. Ia tinggal bersama saudaranya yang tinggal di Sawah Besar di Daerah Jawa.
Sejak perkenalan itu, Yusuf tidak berhenti-hentinya memikirkan Tuti dan Maria. Namun yang lebih ia pikirkan adalah Maria. Maria telah menarik hatinya. Muka Maria lebih berseri-seri, matanya menyinarkan kegirangan hidup dan bibirnya senantiasa tersenyum.
Di jalan Gang Heuber turun seorang anak muda dari sepeda, ia adalah Yusuf. Dalam sepuluh hari, ia telah lima kali datang ke rumah R.Wiriaatmaja. Setiap pagi ia menunggu Maria di depan Alaidruslaan dan dari sana mereka bersama-sama pergi ke sekolah. Tuti dan Ayahnya merasa bahwa Maria dan Yusuf sedang jatuh cinta.
Yusuf berkunjung ke rumah wiriaatmaja. Kedatangannya disambut dengan lemah lembut dan hormat. Setelah meletakan sepedanya, Yusuf duduk bersama Tuti dan Maria. Tidak berapa lama mereka berbincang-bincang, kemudian terlihat seorang laki-laki yang kira-kira tiga puluh lima tahun usianya turun dari delman dan masuk ke pekarangan menuju ke meja tempat ketiga anak muda itu duduk. Ternyata yang dating adalah parta. Ia adalah adik ipar dari Wiriaatmaja. Lalu ia pun duduk bersama mereka. Tak berapa lama datanglah Wiriaatmaja menghampiri mereka. Wiriaatmaja terlihat sangat bahagia menyambut kedatangan iparnya itu. Merekapun berbincang-bincang, didalam perbincangannya Partadiharja mengeluh tentang adiknya yang bernama saleh yang bekerja di kantor justisi sebagai ajun komis yang gajinya lumayan besar, tiba-tiba mengundurkan diri tanpa alas an yang jelas dan tanpa sepengetahuan famili terlebih dahulu. Tuti memberikan pendapat yang berbeda dari sudut pandang yang berbeda pula namun hal tersebut malah menjadi pertentangan antara Tuti dengan Parta. Akhirnya Tuti memutuskan untuk diam karena ia tahu bahwa pertentangannya itu tidak akan mendatangkan atau membuahkan hasil malah mungkin ia akan dibenci oleh pamannya tersebut.
Tak berapa lama senjapun mulai terlihat, partadiharja pun pulang. Dan ketika beduk magrib berbunyi, Wiriaatmaja masuk meninggalkan ketiga anak muda yang berada di halaman untuk pergi sembahyang. Setelah kepergian Wiriaatmaja, merekapun berbincang-bincang tentang agama, yang ujung-ujungnya terjadi pertentangan antara ketiganya namun pertentangan tersebut tidak brlangsung lama karena terdengar bunyi langkah kaki Bapaknya. Karena mereka tidak mau ada pertengkaran dengan Bapaknya maka iapun memutuskan untuk mengakhiri perbincangan tentang agama tersebut.
Setelah sejam lamanya keempat orang tersebut becakap-cakap tentang bebagai topik maka kira-kira pukul delapan, Yusuf pamit untuk pulang.
Yusuf berlibur ke rumah orang tuanya di mertapura untuk melepas lelah setelah ujian kedokteran. Selama di Mertapura Yusuf berkirim-kiriman surat dengan Maria. Yusuf menceritakan pengalamannya selama di Mertapura dan Maria menceritakan keadaannya yang kesepian ditinggalkan saudaranya pergi menghadiri kongres.
Seiring berjalannya waktu, timbullah benih-benih cinta antara Maria dan Yusuf. Merekapun saling berjanji akan menikah di kemudian hari. Hal tersebut diceritakan oleh maria kepada Tuti dan Rukamah sepupu maria.
Dinding Gedung Permufakatan berat berhias daun kelapa dan daun beringin, disela-sela kertas merah putih. Di dinding sebelah kanan nyata jelas tersusun huruf “Pemuda Baru”, dan di sebelah kiri tertulis “Kongres Kelima”. Bau daun yang segar memenuhi seluruh ruangan yang girang gembira dan terlihat cahaya lampu listrik yang terang benderang. Di depan ruang itu terdapat layer berwarna ungu berombak-ombak.
Dari pintu yang terbuka lebar terlihat orang-orang yang berdatangan tiada henti-henti. Makin banyak orang yang duduk di kursi dan bangku yang tersusun di dalam gedung, diluar masih banyak terlihat orang-orang berduyun-duyun datang dari jalan raya.
Dari pintu bawah sebelah kanan, masuklah Maria kedalam ruangan lalu ia naik ke anak tangga dan mencari-cari Yusuf dan Tuti. Setelah Yusuf terlihat olehnya, maka dengan cepat ia memanggilnya untuk bersiap-siap memulai pertunjukkan.
Pukul delapan datanglah seorang anak muda keluar dari belakang layer. Dengan suara nyaring, ia memberi sambutan kepada penonton dan membacakan keputusan kongres. Ia juga memberitahu bahwa akan ada pertunjukkan yang diharapkan dapat menjadi kenang-kenangan yang indah dan tak terlupakan. Lalu ia pun kembali ke belakang layer.
Tak berapa lama setelah ia kembali kebelakang layar yang tertutup, diiringi oleh tepuk tangan yang ramai, maka terbukalah layar yang ungu berombak-ombak tersebut. Ketika itu juga, padamlah lampu dalam gedung itu dan di atas podium terpasang cahaya biru, amat dahsyat sehingga menyinari pemandangan yang permai dan memikat itu.

Robohnya Surau Kami

Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

Siti Nurbaya

Seorang penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti Mariam yang berasal dari orang kebanyakan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda Sulaeman yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik saja.
Pada suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti Nurbaya ke gunung Padang bersama-sama dua orang temannya, yakni Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang yang bernama Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter tersebut. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka itu mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan Zainularifin.
Di Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain. Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar empat, dan Pendekar Lima.
Melihat kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.
Karena Baginda Sulaeman tak dapat membayar utangnya, maka Datuk Maringgih bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya Baginda Sulaeman sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, karena mendengar kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul Bahri menghindarkan dirinya diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan karena kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan Datuk Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang sedang sakit itu, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu. Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung Padang.
Pada waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul Bahri ke samping. Dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi. Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang gelap.
Di para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di Padangpanjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi sakit-sakit saja.
Sejak kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya, akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan Mahmud Syah sejak pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja memata-matainya.
Pada hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima. Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar, pergilah Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun mendapat pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan payah.
Pada saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul Bahri bahwa hal itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun minta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh, barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya. Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa Siti Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia tinggal di rumah Alimah
Pada suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun. Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu, terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenajah itu dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu, Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya. Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu, karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan pistolnya dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati, ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung Padang.
Dalam pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu. Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat, dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima. Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah sakit karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya, bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam, dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang dimintanya.
Sepeninggal Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud Syah.
Beberapa bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.